Bertempat di Pusat Kebudayaan
Amerika, Pacific Place, Jakarta, 27 November 2018 saya menghadiri peringatan
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Bagaimana kasus terhadap perempuan akhir-akhir ini mencuat di pemberitaan. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa sebanyak 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya, untuk itu perlunya kita kampanye untuk hal tersebut.
Sejarah kampanye 16 Hari Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of
Activism Against Gender Violence) pada awalnya merupakan kampanye internasional
untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh
dunia. Aktivitas ini sendiri pertama
kali digagas oleh Women,s Global
Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
Lebih dari 3.700 organisasi dari
sekitar 164 negara berpartisipasi dalam kampanye setiap tahun. UN Women sebagai
bagian dari organisasi PBB kemudian mengadopsi kampanye tersebut. Dikatakan
bahwa kampanye global ini diperlukan karena sudah terlalu lama masalah kekerasan terhadap
perempuan menjadi impunitas, tidak terdengar dan mengalami stigma. Situasi
seperti ini mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan meningkat, UN Women
mencantumkan bahwa satu dari tiga perempuan
di seluruh dunia mengalami kekerasan berbasis gender.
Dalam beberapa tahun terakhir,
menjadi perhatian seluruh dunia suara para penyitas dan aktivis, dalam kampanye
seperti #MeToo, #TimesUp, #Niunamenos, #NotOneMore,
#BalanceTonPorc dan lainnya, telah mencapai puncak yang tidak dapat
dibungkam lagi. Di Indonesia pada dua tahun yang lalu kemudian dikenal dengan
gerakan #GerakBersama untuk penghapusan kekerasan seksual.
Di seluruh dunia, kita perlu memahami
bahwa meskipun nama dan konteksnya mungkin berbeda di seluruh letak geografis,
perempuan dan anak perempuan dimana pun mereka berada, mengalami kekerasan yang
terjadi secara terus-menerus, karena itu cerita mereka perlu disoroti, dan
dilindungi.
Lily Puspasari (Programe
Management Specialist UN Women) mengatakan, “Di seluruh bagian dunia, perempuan
dan anak perempuan terus mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan
kerap kali luput dari perhatian dan suara penyintas tidak terdengar. Hal ini dikarenakan
seringkali perempuan yang terkana kekerasn disalahkan dan testimoni mereka
diragukan. Melalui Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan #HearMeToo , mari kita mendorong semua
pihak untuk berdiri dalam solidaritas dengan penyitas dan gerakan anti
kekerasan, serta mulai bersuara untuk akhiri kekerasan terhadap perempuan.
Mengapa
Kekerasan terhadap Perempuan Harus Dihapuskan?
UN Women mengatakan bahwa
kekerasan terhadap perempuan (dan anak perempuan) adalah salah satu pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling luas, terus menerus, dan menghancurkan
perempuan dan anak perempuan di seluruh
dunia, dan sampai saat ini sebagian besar masih
sulit untuk dilaporkan karena adanya impunitas, sikap diam, stigma, dan
rasa malu baik korban maupun lingkungan
sekitarnya. Secara umum, UN Women melaporkan bahwa kekerasan dimanifestasikan
dalam bentuk fisik, seksual dan psikologis, meliputi :
· Pertama, kekerasan oleh pasangan baik yang sudah
menikah maupun yang belum menikah dalam bentuk pemukulan, pelecehan,
psikologis, perkosaan, dan femicide atau
pembunuhan terhadap perempuan;
· Kedua, kekerasan dan pelecehan seksual (dalam
bentuk pemerkosaan, tindakan memaksa berhubungan seksual, hasrat seksual yang
tidak diinginkan, pelecehan seksual anak, pernikahan paksa, (termasuk
pernikahan anak), pelecehan di jalanan atau ruang public, penguntitatan,
pelecehan dalam media cyber;
· Ketiga adalah perdagangan manusia dalam bentuk
perbudakan dan eksploitasi seksual;
· Keempat adalah mutilasi genital perempuan dan
perkawinan anak.
Untuk lebih memperjelas,
Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan
oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993, mendefinisikan kekerasan terhadap
perempuan sebagai “Setiap tindakan
kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau memungkinkan akan
mengakibatkan kekerasan dalam bentuk fisik, seksual, psikologis atau
penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan atau perampasan
kebebasan perempuan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”
Konsekuensi kesehatan psikologis,
seksual dan reproduksi adalah yang paling banyak terjadi dan mempengaruhi semua
tahap kehidupan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi pada
siapa saja, di mana saja, beberapa perempuan dan remaja yang sangat rentan –
misalnya, perempuan remaja dan perempuan lanjut usia (lansia), perempuan yang
diidentifikasi sebagai lesbian, biseksual, transgender dan interseks, perempuan
migran dan pengungsi, perempuan lokal dan perempuan etnis minoritas, atau
perempuan dan remaja perempuan yang hidup dengan HIV dan disabilitas, dan
mereka yang hidup dalam kisis kemanusian.
Kekerasan terhadap perempuan
terus menjadi hambatan untuk mencapai kesetaraan, pembangunan, perdamaian,
serta pemenuhan hak asasi perempuan dan anak perempuan . Secara keseluruhan,
janji Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) – tidak meninggalkan siapa pun di
belakang – tidak dapat dipenuhi tanpa mengakhiri kekerasan terhadap perempuan
dan anak perempuan.
Situasi
dan Konteks Indonesia dalam Kampanye Global
Dalam konteks Indonesia, Kampanye
16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) ini diinisiasi oleh Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), lembaga negara
Hak Asasi Manusia (HAM) yang berfokus pada hak-hak perempuan atau hak asasi
perempuan.
Keterlibatan Komnas Perempuan
dalam kampanye tersebut telah dimulai sejak tahun 2001, dengan memfasilitasi
pelaksaan kampanye di wilayah-wilayah seluruh Indonesia yang menjadi mitra
Komnas Perempuan. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandate Komnas
Perempuan yakni untuk bermitra dengan pihak masyarakat serta berperan
memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan telah menyatakan sikap dan memberikan
rekomendasi penting tentang :
1. Pertama,
Perlunya segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual. Kasus yang mencuat di media nasional adalah tentang kekerasan seksual
yang dialami oleh seseorang mahasiswi disebuah universitas, menunjukkan bahwa
kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran berat di kalangan civitas
akademik. Kedua, kasus seorang ibu yang dikriminalkan melalui UU elektronika,
akibat membela dirinya sendiri atas kekerasan seksual secara verbal yang
dialaminya. Menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual belum dipahami
apalagi dijangkau oleh hukum;
2. Kedua,
Komnas Perempuan mengkritisi lambatnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan
Kekerasan Seksual dibahas DPR RI yang
tidak kunjung dibahas dan disahkan di DPR
sampai sekarang. Padahal regulasi terkait kekerasan seksual saat ini sangat
minim, hanya berpegang pada KUHP. Hal ini menjadi tantangan bagi sejumlah kasus
kekerasan seksual yang terus meningkat dilaporkan banyak korban perempuan.
3. Ketiga,
adalah tren kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber, Akhir tahun 2017 yang lalu terdapat 65 kasus kekerasan
terhadap perempuan di dunia maya yang dilaporkan korban ke Unit Pengaduan untuk
Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup beragam
dan sebagian besar masih dilakukan oleh orang terdekat dengan korban seperti
pacar, mantan pacar, dan suami korban sendiri. Luasnya akses dalam ranah dunia
maya juga memungkinkan adanya pihak lain yang menjadi pelaku kekerasan, seperti
kolega, supir transportasi online, bahkan orang yang belum dikenal sebelumnya (anonym).
Selain itu kejahatan cyber bukanlah bentuk kekerasan terhadap perempuan biasa,
namun juga kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusu dari
pemerintah.
Kerjasama
Global
Tahun ini
dalam hal Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komnas
Perempuan menggandeng @america (Pusat Kebudayaan Amerika), UN Women, dan Komnas
HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) untuk melakukan kampanye bersama
menghentikan kekerasan terhadap perempuan, menyatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah penggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, dan terutama
kekerasan seksual.
Komnas
HAM melaporkan bahwa begitu banyak kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan
berbasis gender dalam politik, terutama dalam pelanggaran HAM di masa lalu,
yang menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat lepas dari
perspektif gender, dan perlu menjadi mainstream dalam pandangan seluruh dunia
tentang wacana hak asasi manusia.
Chairul
Anam mengatakan, “ Banyak kasus dalam pelanggaran HAM berat, perempuan juga
mengalami kekerasan, bahkan kekerasn ini juga dialami oleh perempuan setelah
pelanggaran HAM berat tersebut telah berlalu . Perempuan adalam beberapa kasus
banyak dijadikan instrument of war,
untuk memaksa suami, anak atau saudaranya menyerah. Dalam konteks inilah
penting melihat pelanggaran atau kejahatan HAM dalm spectrum dan perspektif
perempuan, agar akar kejahatan itu berlangsung dan bagaimana keadilan
ditegakkan. Perempuan
dalam konteks HAM, juga tercatat sebagai survivor
paling tangguh dan konsisten. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai
pengalaman lapangan bagaimana perempuan mampu menyimpan narasi, menyampaikannya
dan melakukan advokasi. Kampanye
16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan buan hanya menjadi topik penting
Nasioanl, melainkan Global. Mari gerak bersama untuk menghentikan kekerasan
terhadap perempuan!.” #Gerak Bersama Hapuskan Kekerasan terhadap Perempuan.
Kontak
Narasumber :
Mariana Amiruddin (Komisioner
Komnas Perempuan)
Lily Puspasari (Programme
Specalist at UN Women)
Mohammad Chairul Anam (Komisioner Komnas HAM)
Kontak
Komunikasi :
Radhiska Anggiana, Communications
Officer UN Women, radhiska.anggiana@unwomen.org
Chris Purba, Pratisipasi
Masyarakat Komnas Perempuan, chris@komnasperempuan.go.id