Senin, 18 Maret 2019

Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan


Bertempat di Pusat Kebudayaan Amerika, Pacific Place, Jakarta, 27 November 2018 saya menghadiri peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Bagaimana kasus terhadap perempuan akhir-akhir ini mencuat di pemberitaan. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa sebanyak 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya, untuk itu  perlunya kita kampanye untuk hal tersebut.



Sejarah kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) pada awalnya merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.  Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women,s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Lebih dari 3.700 organisasi dari sekitar 164 negara berpartisipasi dalam kampanye setiap tahun. UN Women sebagai bagian dari organisasi PBB kemudian mengadopsi kampanye tersebut. Dikatakan bahwa kampanye global ini diperlukan karena sudah  terlalu lama masalah kekerasan terhadap perempuan menjadi impunitas, tidak terdengar dan mengalami stigma. Situasi seperti ini mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan meningkat, UN Women mencantumkan bahwa satu dari tiga perempuan  di seluruh dunia mengalami kekerasan berbasis gender.

Dalam beberapa tahun terakhir, menjadi perhatian seluruh dunia suara para penyitas dan aktivis, dalam kampanye seperti #MeToo, #TimesUp, #Niunamenos, #NotOneMore, #BalanceTonPorc dan lainnya, telah mencapai puncak yang tidak dapat dibungkam lagi. Di Indonesia pada dua tahun yang lalu kemudian dikenal dengan gerakan #GerakBersama untuk penghapusan kekerasan seksual.

Di seluruh dunia, kita perlu memahami bahwa meskipun nama dan konteksnya mungkin berbeda di seluruh letak geografis, perempuan dan anak perempuan dimana pun mereka berada, mengalami kekerasan yang terjadi secara terus-menerus, karena itu cerita mereka perlu disoroti, dan dilindungi.

Lily Puspasari (Programe Management Specialist UN Women) mengatakan, “Di seluruh bagian dunia, perempuan dan anak perempuan terus mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan kerap kali luput dari perhatian dan suara penyintas  tidak terdengar. Hal ini dikarenakan seringkali perempuan yang terkana kekerasn disalahkan dan testimoni mereka diragukan. Melalui Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan #HearMeToo , mari kita mendorong semua pihak untuk berdiri dalam solidaritas dengan penyitas dan gerakan anti kekerasan, serta mulai bersuara untuk akhiri kekerasan terhadap perempuan.

Mengapa Kekerasan terhadap Perempuan Harus Dihapuskan?

UN Women mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan (dan anak perempuan) adalah salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling luas, terus menerus, dan menghancurkan perempuan  dan anak perempuan di seluruh dunia, dan sampai saat ini sebagian besar masih  sulit untuk dilaporkan karena adanya impunitas, sikap diam, stigma, dan rasa malu  baik korban maupun lingkungan sekitarnya. Secara umum, UN Women melaporkan bahwa kekerasan dimanifestasikan dalam bentuk fisik, seksual dan psikologis, meliputi :

·   Pertama, kekerasan oleh pasangan baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah dalam bentuk pemukulan, pelecehan, psikologis, perkosaan, dan femicide atau pembunuhan terhadap perempuan;

·  Kedua, kekerasan dan pelecehan seksual (dalam bentuk pemerkosaan, tindakan memaksa berhubungan seksual, hasrat seksual yang tidak diinginkan, pelecehan seksual anak, pernikahan paksa, (termasuk pernikahan anak), pelecehan di jalanan atau ruang public, penguntitatan, pelecehan dalam media cyber;

·        Ketiga adalah perdagangan manusia dalam bentuk perbudakan dan eksploitasi seksual;

·         Keempat adalah mutilasi genital perempuan dan perkawinan anak.

Untuk lebih memperjelas, Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993, mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “Setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau memungkinkan akan mengakibatkan kekerasan dalam bentuk fisik, seksual, psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan atau perampasan kebebasan  perempuan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”

Konsekuensi kesehatan psikologis, seksual dan reproduksi adalah yang paling banyak terjadi dan mempengaruhi semua tahap kehidupan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi pada siapa saja, di mana saja, beberapa perempuan dan remaja yang sangat rentan – misalnya, perempuan remaja dan perempuan lanjut usia (lansia), perempuan yang diidentifikasi sebagai lesbian, biseksual, transgender dan interseks, perempuan migran dan pengungsi, perempuan lokal dan perempuan etnis minoritas, atau perempuan dan remaja perempuan yang hidup dengan HIV dan disabilitas, dan mereka yang hidup dalam kisis kemanusian.

Kekerasan terhadap perempuan terus menjadi hambatan untuk mencapai kesetaraan, pembangunan, perdamaian, serta pemenuhan hak asasi perempuan dan anak perempuan . Secara keseluruhan, janji Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) – tidak meninggalkan siapa pun di belakang – tidak dapat dipenuhi tanpa mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.


Situasi dan Konteks Indonesia dalam Kampanye Global

Dalam konteks Indonesia, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) ini diinisiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), lembaga negara Hak Asasi Manusia (HAM) yang berfokus pada hak-hak perempuan atau hak asasi perempuan.

Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kampanye tersebut telah dimulai sejak tahun 2001, dengan memfasilitasi pelaksaan kampanye di wilayah-wilayah seluruh Indonesia yang menjadi mitra Komnas Perempuan. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandate Komnas Perempuan yakni untuk bermitra dengan pihak masyarakat serta berperan memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Komnas Perempuan  telah menyatakan sikap dan memberikan rekomendasi penting tentang :
1.  Pertama, Perlunya segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Kasus yang mencuat di media nasional adalah tentang kekerasan seksual yang dialami oleh seseorang mahasiswi disebuah universitas, menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran berat di kalangan civitas akademik. Kedua, kasus seorang ibu yang dikriminalkan melalui UU elektronika, akibat membela dirinya sendiri atas kekerasan seksual secara verbal yang dialaminya. Menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual belum dipahami apalagi dijangkau oleh hukum;

2. Kedua, Komnas Perempuan mengkritisi lambatnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual  dibahas DPR RI yang tidak kunjung dibahas  dan disahkan di DPR sampai sekarang. Padahal regulasi terkait kekerasan seksual saat ini sangat minim, hanya berpegang pada KUHP. Hal ini menjadi tantangan bagi sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus meningkat dilaporkan banyak korban perempuan.

3.    Ketiga, adalah tren kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber, Akhir tahun 2017 yang lalu terdapat 65 kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang dilaporkan korban ke Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup beragam dan sebagian besar masih dilakukan oleh orang terdekat dengan korban seperti pacar, mantan pacar, dan suami korban sendiri. Luasnya akses dalam ranah dunia maya juga memungkinkan adanya pihak lain yang menjadi pelaku kekerasan, seperti kolega, supir transportasi online, bahkan orang yang belum dikenal sebelumnya (anonym). Selain itu kejahatan cyber bukanlah bentuk kekerasan terhadap perempuan biasa, namun juga kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusu dari pemerintah.


Kerjasama Global

Tahun ini dalam hal Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komnas Perempuan menggandeng @america (Pusat Kebudayaan Amerika), UN Women, dan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) untuk melakukan kampanye bersama menghentikan kekerasan terhadap perempuan, menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah penggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, dan terutama kekerasan seksual.

Komnas HAM melaporkan bahwa begitu banyak kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan berbasis gender dalam politik, terutama dalam pelanggaran HAM di masa lalu, yang menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat lepas dari perspektif gender, dan perlu menjadi mainstream dalam pandangan seluruh dunia tentang wacana hak asasi manusia.

Chairul Anam mengatakan, “ Banyak kasus dalam pelanggaran HAM berat, perempuan juga mengalami kekerasan, bahkan kekerasn ini juga dialami oleh perempuan setelah pelanggaran HAM berat tersebut telah berlalu . Perempuan adalam beberapa kasus banyak dijadikan instrument of war, untuk memaksa suami, anak atau saudaranya menyerah. Dalam konteks inilah penting melihat pelanggaran atau kejahatan HAM dalm spectrum dan perspektif perempuan, agar akar kejahatan itu berlangsung dan bagaimana keadilan ditegakkan. Perempuan dalam konteks HAM, juga tercatat sebagai survivor paling tangguh dan konsisten. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai pengalaman lapangan bagaimana perempuan mampu menyimpan narasi, menyampaikannya dan melakukan advokasi. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan buan hanya menjadi topik penting Nasioanl, melainkan Global. Mari gerak bersama untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan!.” #Gerak Bersama Hapuskan Kekerasan terhadap Perempuan.

Kontak Narasumber : 
Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan)
Lily Puspasari (Programme Specalist at UN Women)
Mohammad Chairul Anam (Komisioner Komnas HAM)

Kontak Komunikasi :
Radhiska Anggiana, Communications Officer UN Women, radhiska.anggiana@unwomen.org
Chris Purba, Pratisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, chris@komnasperempuan.go.id









Petualangan Dari Sudut Pandang - Ika Soewadji -

  Tidak Menyangkal era perkembangan jaman saat ini, memudahkan aku sebagai pejalan untuk melakukan petualangan. Berpetualang bagi aku prib...