Rabu, 21 Februari 2018

Kesederhanaan Baduy, Menjaga Alam dan Adat


Tak akan lelah menyusuri bumi pertiwi disetiap sudutnya, selalu ada senyum buat saya dimana pun singgah. Mereka selalu menyambut dengan ramah dan tangan terbuka. Itulah sekilas tentang perjalanan saya ke Baduy Dalam bersama tiga orang kawan.

Sebelum pulang kami berfoto bersama Ayah Idong 

Kami berempat

Stasiun Tanah Abang sebagai lokasi meeting point saya dengan Rasyid kawan dari Kediri, sedang dengan dua orang kawan bertemu di stasiun Rangkasbitung. Tepat jam 06.30, saya sudah tiba di stasiun dan menunggu Rasyid di peron 5-6. Tak lama handphone berdering, benar saja whatssap dari Rasyid, memberi kabar sudah tiba di stasiun dan menuju tempatku menunggu.

Hari itu stasiun penuh sesak, maklum saat orang sibuk berangkat untuk bekerja sementara kami berdua memilih meninggalkan aktivitas pekerjaan untuk berlibur keluar Jakarta dan memilih Baduy sebagai destinasi. Singkat cerita, kelas inspirasi Magelang mempertemukan saya dengan Rasyid. Kebetulan satu rombongan belajar dan sempat ngobrol banyak, salah satunya tercetus keinginan Rasyid  mengunjungi Baduy, Saya pun berjanji menemaninya ke Baduy.

Perjalanan Jakarta – Rangkasbitung dengan commuter line menempuh jarak sekitar 2 jam, dalam  perjalanan pun ditemani pemandangan persawahan nan hijau, tak berapa lama  tepat jam 10.20 sudah tiba di stasiun Rangkasbitung. Lalu kami keluar stasiun untuk mencari makan, saya sudah punya langganan warung Sunda tak jauh dari stasiun, enak dan terjangkau kantong, sambil menunggu dua kawan yang belum datang. Selepas makan saya memberi kabar via whatssap ke Umar dan Dewi, ternyata Umar kesiangan dan otomatis telat. Akhirnya kami menunggu di depan minimarket sambil menunggu Dzuhur. Tepat jam 13.30 Umar dan Dewi tiba, saya dan Rasyid langsung berbegas menuju tempat mereka menunggu.

Sudah lengkap dan kami naik angkot merah disamping rel menuju ke terminal Aweh, karena Elf terminal Aweh – Ciboleger terakhir jam 14.30. Tepat jam 14.00 kami tiba di terminal,  dan benar saja itu Elf terakhir. Kalau pun kami telat, terpaksa harus mengunakan ojek ke Ciboleger. Elf masih menunggu penumpang lain, karena baru ada kami berempat.  Namun tak berapa lama berangkat walaupun hanya dapat delapan penumpang. Jarak tempuh Aweh – Ciboleger sekitar 2 jam, dengan jalur naik – turun berkelok-kelok dengan pemandangan hutan dan persawahan khas pedesaan.

Selamat Datang di Desa Kanekes

Dua jam kemudian kami tiba di Ciboleger, disambut oleh Ayah Idong dan Sarim yang sudah dari pagi menunggu di rumah Pak Agus, sebelumnya saya sudah beritahu Pak Agus akan datang telat. Sambil menunggu kawan-kawan yang sholat Ashar, saya melengkapi kebutuhan logistik selama 3 hari 2 malam di Baduy Dalam. Setelah beres packing, kami berkumpul untuk berdoa agar perjalanan lancar hingga kembali ke rumah.

Salah satu jalur menuju Baduy Dalam

Danau 

Logistik dan beberapa bahan makanan dibawakan oleh Ayah Idong dan Sarim, sisanya kami bawa ransel masing-masing. Jalur yang kami pilih melalui Ciboleger – Cibeo lebih kurang 9.2 Km sekitar 5 - 6 perjalanan. Awal trekking, kami melewati perkampungan Baduy Luar dahulu, untuk registrasi dan laporan berapa lama di Baduy Dalam.

Jalur menuju Baduy Dalam

Jembatan Bambu Pertama (Gazebo)

Awal trekking saya memilih paling belakang sambil mengawasi tiga kawan yang jalan lebih dahulu, Bagi Umar dan Rasyid trekking menuju Baduy Dalam ini sudah biasa, namun tidak bagi Dewi. Gadis Belitung yang sedang menyelesaikan skripsi disalah satu perguruan tinggi negeri di Ciputat ini, belum terbiasa, kami pun mensupport dan membantu membawa ransel Dewi.

Anak-anak Baduy Luar

Perempuan Baduy Luar Menenun 

Perempuan Baduy Luar Menenun 

Hari mulai gelap, kami pun mulai membagi penerangan dengan headlamp. Saya mulai merasakan hawa dingin karena tiupan angin yang sangat kencang, berhenti untuk memakai jaket dan kemudian jalan lagi ditemani ayah. Melewati jembatan bambu, merupakan tanda perbatasan akan memasuki jalur tanjakan terjal ke Baduy Dalam. Sambil beristirahat, kami diberi opsi oleh ayah terus melanjutkan perjalanan ke rumah ayah di Cibeo atau mau menginap di rumah ayah di ladang, tempatnya selepas tanjakan ini. Kami berempat memutuskan tidur di ladang, karena pertimbangan gelap, angin sangat kencang dan juga lelah.


Menumbuk Padi

Rumah-rumah untuk menyimpan padi

Perjalanan dilanjutkan, melewati tanjakan yang selalu membuat ngos-ngosan setiap saya lewat disini, tapi nggak pernah kapok-kapok, ini sudah ketiga kalinya saya ke Baduy Dalam. Baduy Dalam selalu ada di hati untuk di ulang kembali. Di temani angin kencang, kedinginan dan bintang yang bertaburan, saya menapaki perlahan-lahan tanjakan demi tanjakan. 30 menit kemudian kami tiba di rumah ayah, disambut ramah oleh ambu,  istri ayah Idong, sementara Sanan sudah tidur.



View tanjakan jika siang hari

Begitu tiba, saya membantu ambu di dapur untuk menyiapkan makan malam, sementara tiga kawan saya mengambil air untuk sholat Isya. Tak berapa lama makan malam sudah siap, dan kami makan bersama dengan menu nasi, sayur dan telur dadar, sederhana bukan namun nikmat. Selepas makan kami semua berbincang ditemani teh hangat dan pisang yang kemarin sengaja dipanen ayah karena saya akan datang. Malam semakin larut dan kami pun izin untuk beristirahat, karena esok akan ke Cibeo bersama ayah dan berkeliling hutan.


View rumah-rumah Baduy luar dari Jalur

Bunyi kokok ayam membangunkan saya, pertanda hari sudah pagi. Benar saja jam di handphone menunjukan pukul 04.30, saya membangunkan Rasyid dan kawan-kawan untuk ambil air, karena sudah Subuh. Sementara ambu sudah menyalakan api di dapur dan memasak nasi, untuk kami sarapan sebelum berangkat ke Cibeo. Pagi hari saya berjumpa dengan dua anak ayah lainnya, yaitu Darnita dan Pulung. Kami pun makan sarapan bersama-sama.

Perjalanan ke rumah ayah di Cibeo membutuhkan waktu lebih kurang satu jam, itu pun kami sempat mampir ke ladang kakek (mertua Ayah Idong) yang sedang panen nangka, saya pun diberi untuk mencicipi. Tuhan menciptakan Baduy Dalam ini penuh dengan kekayaan alam, semuanya serba ada. Setelah mencicipi nangka, saya izin pamit ke kakek untuk melanjutkan perjalanan ke Cibeo. Tak berapa lama kami tiba di rumah ayah, untuk menyimpan ransel dan kemudian mandi. Tempat mandi laki-laki dan perempuan itu dibedakan. Kalau perempuan di atas yang ada pancuran sedang laki-laki di sungai.

Sungai yang membelah Gazebo

Bagi saya mandi di Baduy Dalam punya sensasi yang berbeda, kenapa saya bilang begitu karena tidak memakai sabun dan sampo, sikat gigi pun memakai siwak yang sudah dibawa dari rumah. Selepas mandi badan terasa segar, saya pun menuju rumah ayah bersama Dewi. Selepas itu kami menuju balai rakyat untuk bersilatuhrami dengan warga Baduy Dalam lainnya yang sedang membuat atap dan bermain angklung. Mereka sangat ramah menyambut kami, ada Juli Amir, Pulung dan lainnya, saya tak ingat satu-persatu. Sore hari kami pun pamit ke warga lainnya untuk kembali, di perjalanan kami banyak mendapat buah - buahan di hutan, ayah mengambil duren, buah kupa dan saya memetik nanas yang tumbuh di jalur trekking, tentu ini sudah seizin ayah. Buah-buahan dibawa pulang dan kami akan makan besok sebagai bekal pulang.

Tiba di rumah ayah, saya membuat kapal-kapalan untuk  Sarim dan Sanan sambil menikmati senja sore di halaman, kami pun kejar-kejaran, bermain bersama dua anak kecil ini punya kebahagiaan sendiri, sederhana bukan. Suasana seperti ini yang selalu saya rindukan jika datang kembali, dan berkumpul bersama dengan keluarga ayah Idong. Malam ini adalah terakhir menginap di rumah ayah, esok pagi setelah sarapan kami akan kembali lagi kerumah masing-masing.

Tempat menyimpan padi

Malam hari kami berdiskusi dengan ayah tentang Urang Kenekes. Urang kanekes atau Baduy Dalam cenderung menggunakan pakaian dengan warna putih polos tapi ada juga yang memakai warna hitam, disebut dengan nama Jamang Sangsang. Nama tersebut sesuai dengan bagaimana cara baju tersebut dipakai. Baju Jamang Sangsang digunakan dengan cara disangsangkan di badan, baju ini tidak memakai kancing maupun saku, semua dijahit mengunakan tangan. Bahan yang digunakan terbuat dari alam yaitu pintalan kapas asli yang diperoleh dari hutan. Sebagai bawahan, orang Baduy Dalam mengenakan sarung warna hitam atau biru tua yang dililit dipinggang. Tak lupa ikat kepala dari kain putih juga dikenakan sebagai pembatas rambut namanya telekung.

Ayah dan Rasyid

Remaja Baduy Dalam, yang berjumpa di Jalan

Suku Baduy Dalam mempunyai 3 kampung yaitu Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik, namun  sudah tiga kali ke Baduy Dalam saya selalu menginap di Cibeo. Kampung yang masih berpegang teguh dengan adat – istiadat ditengah kemajuan zaman yang semakin modern. Di Baduy Dalam, setiap tamu yang datang tidak boleh memotret, mandi tidak boleh mengunakan bahan-bahan kimia.

Masyarakat Baduy Dalam hidup berdampingan dengan alam dan penuh rasa gotong royong, gemar berjalan kaki kemanapun dan tentu tanpa alas kaki, kalau kalian tahu orang Baduy Dalam tidak ada yang obesitas semua ramping-ramping, mereka tidak memakai perhiasan emas. Rumah mereka pun sederhana, minum dengan gelas bambu, makan dengan daun pisang tanpa mengunakan sendok dan tidak makan daging kambing.

Kepala suku Baduy Dalam disebut Pu’un. Tugas Pu’un adalah menentukan masa tanam dan panen, menerapkan hukum adat terhadap warganya dan mengobati yang sakit. Di Baduy Dalam ada masa, dimana tidak boleh dikunjungi yaitu  masa “Kawalu”. Dimana masyarakat Baduy Dalam sedang berpuasa dan menjalankan ritual/berdoa kepada Tuhan, agar negara ini tentram dan aman. Masa Kawalu berlangsung selama 3 bulan.

Sistem pertanian urang Kanekes juga unik, kebetulan pada waktu saya datang sedang masa musim tanam.  Mereka tidak merubah kontur lahan bagi ladang, semua dilakukan dengan sederhana tanpa dibajak.

Padi

Padi
Padi setelah masa panen

Buah Langsat

Urang Kanekes atau Baduy Dalam bermukim di sekitar pegunungan Kendeng di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Berada diketinggian 300-600 mdpl dan berudara sejuk. Berbahasa Sunda, percaya Nabi Adam dan memeluk Sunda Wiwitan yang merupakan ajaran leluhur yang turun temurun.

Rumah tradisional Baduy luar

Rumah Baduy Luar

Ada 2 prinsip ajaran “Sunda Wiwitan” :
a.     Cara– ciri manusia yaitu unsur dalam kehidupan manusia seperti welas kasih, tata karma, budi budaya dan bahasa
b.     Cara – ciri bangsa yaitu unsur pembeda manusia seperti rupa, adat, bahasa dan aksara.

Malam semakin larut, perbincangan pun disudahi. Hari ini saya banyak belajar dari urang Kanekes apa itu kehidupan. Lalu kami pun beristirahat, karena besok akan kembali ke Ciboleger. Tak terasa pagi pun tiba, saya terbangun dan membantu ambu membuat sarapan pagi yaitu nasi goreng dan telur ceplok.  Selepas sarapan kami akan diantarkan ayah menuju Ciboleger, tapi sebelumnya saya mengajak ambu untuk ikut turun ke jembatan bambu untuk berfoto bersama. Perjalanan saya kali ini berasa special, karena pas pulang diantar satu keluarga ayah, kecuali Pulung. Saya pun diberi oleh-oleh ambu sawi dari ladang untuk dimasak begitu sampai rumah.

Ayah Idong dan Ambu

Foto bersama keluarga Ayah Idong

Berkunjung ke Baduy Dalam, banyak mengajarkan saya tentang kejujuran, kesederhanaan, dalam hidup serta menyatu dengan alam dan belajar tentang kearifan lokal. Terima kasih.

Hal-Hal yang perlu diperhatikan jika berkunjung ke Baduy Dalam :

a.   Kesiapan fisik, ini penting karena mencapai Baduy Dalam hanya dengan jalan kaki lebih kurang 5-6 jam;
b.  Persiapkan logistik, baik untuk bekal di selama perjalanan dan selama menginap di Baduy Dalam, berupa beras, ikan asin, sarden, telur dan lain-lainnya. Asikkan bisa makan bersama dengan keluarga dimana tempat menginap;
c.   Baju ganti, ini penting apalagi kamu menginap beberapa hari di Baduy Dalam;
d.  Jaket, dimalam hari udara sangat dingin;
e.  Senter atau headlamp sebagai penerangan;
f.   Saat trekking memakai sepatu atau sandal gunung;
g.  Patuhi dan hormati adat-istiadat setempat, pejalan yang baik akan bersikap santun dimanapun  berada;
h.   Dilarang memotret di Baduy Dalam;
i.    Dilarang mengunakan bahan kimia saat mandi di Baduy Dalam;
j.    Bawa obat-obatan pribadi dan P3K;
k.    Di Ciboleger belum ada ATM jadi usahakan di Rangkasbitung kamu siapkan uang cash, biar bisa belanja tenun Baduy, madu dan gula merah sebagai oleh-oleh;
l.     Jangan Buang Sampah Sembarangan.

Transportasi menuju Baduy :
1.     Kereta, dengan commuter line Tanah Abang – Rangkasbitung
2.     Naik angkot merah menuju terminal Aweh tarif Rp. 5.000,-/orang
3.     Lanjut naik Elf terminal Aweh – Ciboleger Rp. 25.000,-/orang
(note : Terminal Aweh – Ciboleger terakhir jam 14.30 dan Ciboleger – terminal Aweh jam 13.00)
4.     Registrasi masuk Baduy Rp. 5.000,-/orang

Petualangan Dari Sudut Pandang - Ika Soewadji -

  Tidak Menyangkal era perkembangan jaman saat ini, memudahkan aku sebagai pejalan untuk melakukan petualangan. Berpetualang bagi aku prib...