Tak
akan lelah menyusuri bumi pertiwi disetiap sudutnya, selalu ada senyum buat
saya dimana pun singgah. Mereka selalu menyambut dengan ramah dan tangan
terbuka. Itulah sekilas tentang perjalanan saya ke Baduy Dalam
bersama tiga orang kawan.
![]() |
Sebelum pulang kami berfoto bersama Ayah Idong |
![]() |
Kami berempat |
Stasiun Tanah Abang sebagai lokasi meeting point saya dengan Rasyid kawan dari Kediri, sedang dengan dua orang kawan bertemu di stasiun Rangkasbitung. Tepat jam 06.30, saya sudah tiba di stasiun dan menunggu Rasyid di peron 5-6. Tak lama handphone berdering, benar saja whatssap dari Rasyid, memberi kabar sudah tiba di stasiun dan menuju tempatku menunggu.
Hari
itu stasiun penuh sesak, maklum saat orang sibuk berangkat untuk bekerja
sementara kami berdua memilih meninggalkan aktivitas pekerjaan untuk berlibur
keluar Jakarta dan memilih Baduy sebagai destinasi. Singkat
cerita, kelas inspirasi Magelang mempertemukan saya dengan Rasyid. Kebetulan
satu rombongan belajar dan sempat ngobrol banyak, salah satunya tercetus keinginan
Rasyid mengunjungi Baduy, Saya pun
berjanji menemaninya ke Baduy.
Perjalanan
Jakarta – Rangkasbitung dengan commuter
line menempuh jarak sekitar 2 jam, dalam
perjalanan pun ditemani pemandangan persawahan nan hijau, tak berapa
lama tepat jam 10.20 sudah tiba di
stasiun Rangkasbitung. Lalu kami keluar stasiun untuk mencari makan, saya sudah
punya langganan warung Sunda tak jauh dari stasiun, enak dan terjangkau
kantong, sambil menunggu dua kawan yang belum datang. Selepas makan saya
memberi kabar via whatssap ke Umar
dan Dewi, ternyata Umar kesiangan dan otomatis telat. Akhirnya kami menunggu di
depan minimarket sambil menunggu Dzuhur. Tepat jam 13.30 Umar dan Dewi tiba,
saya dan Rasyid langsung berbegas menuju tempat mereka menunggu.
Sudah
lengkap dan kami naik angkot merah disamping rel menuju ke terminal Aweh,
karena Elf terminal Aweh – Ciboleger terakhir jam 14.30. Tepat jam 14.00 kami
tiba di terminal, dan benar saja itu Elf
terakhir. Kalau pun kami telat, terpaksa harus mengunakan ojek ke Ciboleger.
Elf masih menunggu penumpang lain, karena baru ada kami berempat. Namun tak berapa lama berangkat walaupun
hanya dapat delapan penumpang. Jarak tempuh Aweh – Ciboleger sekitar 2 jam,
dengan jalur naik – turun berkelok-kelok dengan pemandangan hutan dan
persawahan khas pedesaan.
![]() |
Selamat Datang di Desa Kanekes |
Dua
jam kemudian kami tiba di Ciboleger, disambut oleh Ayah Idong dan Sarim yang
sudah dari pagi menunggu di rumah Pak Agus, sebelumnya saya sudah beritahu Pak
Agus akan datang telat. Sambil menunggu kawan-kawan yang sholat Ashar, saya
melengkapi kebutuhan logistik selama 3 hari 2 malam di Baduy Dalam. Setelah
beres packing, kami berkumpul untuk
berdoa agar perjalanan lancar hingga kembali ke rumah.
Salah satu jalur menuju Baduy Dalam |
![]() |
Danau |
Logistik
dan beberapa bahan makanan dibawakan oleh Ayah Idong dan Sarim, sisanya kami
bawa ransel masing-masing. Jalur yang kami pilih melalui Ciboleger – Cibeo lebih
kurang 9.2 Km sekitar 5 - 6 perjalanan. Awal trekking,
kami melewati perkampungan Baduy Luar dahulu, untuk registrasi dan laporan
berapa lama di Baduy Dalam.
Jalur menuju Baduy Dalam |
![]() |
Jembatan Bambu Pertama (Gazebo) |
Awal
trekking saya memilih paling belakang
sambil mengawasi tiga kawan yang jalan lebih dahulu, Bagi Umar dan Rasyid trekking menuju Baduy Dalam ini sudah
biasa, namun tidak bagi Dewi. Gadis Belitung yang sedang menyelesaikan skripsi
disalah satu perguruan tinggi negeri di Ciputat ini, belum terbiasa, kami pun mensupport dan membantu membawa ransel
Dewi.
![]() |
Anak-anak Baduy Luar |
![]() |
Perempuan Baduy Luar Menenun |
![]() | |
|
Hari
mulai gelap, kami pun mulai membagi penerangan dengan headlamp. Saya mulai merasakan hawa dingin karena tiupan angin yang
sangat kencang, berhenti untuk memakai jaket dan kemudian jalan lagi ditemani
ayah. Melewati jembatan bambu, merupakan tanda perbatasan akan memasuki jalur
tanjakan terjal ke Baduy Dalam. Sambil beristirahat, kami diberi opsi oleh ayah
terus melanjutkan perjalanan ke rumah ayah di Cibeo atau mau menginap di rumah
ayah di ladang, tempatnya selepas tanjakan ini. Kami berempat memutuskan tidur
di ladang, karena pertimbangan gelap, angin sangat kencang dan juga lelah.
![]() |
Menumbuk Padi |
![]() |
Rumah-rumah untuk menyimpan padi |
Perjalanan
dilanjutkan, melewati tanjakan yang selalu membuat ngos-ngosan setiap saya
lewat disini, tapi nggak pernah kapok-kapok, ini sudah ketiga kalinya saya ke
Baduy Dalam. Baduy Dalam selalu ada di hati untuk di ulang kembali. Di temani angin
kencang, kedinginan dan bintang yang bertaburan, saya menapaki perlahan-lahan
tanjakan demi tanjakan. 30 menit kemudian kami tiba di rumah ayah, disambut
ramah oleh ambu, istri ayah Idong, sementara
Sanan sudah tidur.
View tanjakan jika siang hari |
Begitu
tiba, saya membantu ambu di dapur untuk menyiapkan makan malam, sementara tiga
kawan saya mengambil air untuk sholat Isya. Tak berapa lama makan malam sudah
siap, dan kami makan bersama dengan menu nasi, sayur dan telur dadar, sederhana
bukan namun nikmat. Selepas makan kami semua berbincang ditemani teh hangat dan
pisang yang kemarin sengaja dipanen ayah karena saya akan datang. Malam semakin
larut dan kami pun izin untuk beristirahat, karena esok akan ke Cibeo bersama
ayah dan berkeliling hutan.
View rumah-rumah Baduy luar dari Jalur |
Bunyi
kokok ayam membangunkan saya, pertanda hari sudah pagi. Benar saja jam di handphone menunjukan pukul 04.30, saya
membangunkan Rasyid dan kawan-kawan untuk ambil air, karena sudah Subuh.
Sementara ambu sudah menyalakan api di dapur dan memasak nasi, untuk kami
sarapan sebelum berangkat ke Cibeo. Pagi hari saya berjumpa dengan dua anak
ayah lainnya, yaitu Darnita dan Pulung. Kami pun makan sarapan bersama-sama.
Perjalanan
ke rumah ayah di Cibeo membutuhkan waktu lebih kurang satu jam, itu pun kami sempat
mampir ke ladang kakek (mertua Ayah
Idong) yang sedang panen nangka, saya pun diberi untuk mencicipi. Tuhan
menciptakan Baduy Dalam ini penuh dengan kekayaan alam, semuanya serba ada. Setelah
mencicipi nangka, saya izin pamit ke kakek untuk melanjutkan perjalanan ke
Cibeo. Tak berapa lama kami tiba di rumah ayah, untuk menyimpan ransel dan
kemudian mandi. Tempat mandi laki-laki dan perempuan itu dibedakan. Kalau
perempuan di atas yang ada pancuran sedang laki-laki di sungai.
Sungai yang membelah Gazebo |
Bagi
saya mandi di Baduy Dalam punya sensasi yang berbeda, kenapa saya bilang begitu
karena tidak memakai sabun dan sampo, sikat gigi pun memakai siwak yang sudah
dibawa dari rumah. Selepas mandi badan terasa segar, saya pun menuju rumah ayah
bersama Dewi. Selepas itu kami menuju balai rakyat untuk bersilatuhrami dengan
warga Baduy Dalam lainnya yang sedang membuat atap dan bermain angklung. Mereka
sangat ramah menyambut kami, ada Juli Amir, Pulung dan lainnya, saya tak ingat
satu-persatu. Sore hari kami pun pamit ke warga lainnya untuk kembali, di perjalanan
kami banyak mendapat buah - buahan di hutan, ayah mengambil duren, buah kupa
dan saya memetik nanas yang tumbuh di jalur trekking,
tentu ini sudah seizin ayah. Buah-buahan dibawa pulang dan kami akan makan
besok sebagai bekal pulang.
Tiba
di rumah ayah, saya membuat kapal-kapalan untuk Sarim dan Sanan sambil menikmati senja sore di
halaman, kami pun kejar-kejaran, bermain bersama dua anak kecil ini punya
kebahagiaan sendiri, sederhana bukan. Suasana seperti ini yang selalu saya
rindukan jika datang kembali, dan berkumpul bersama dengan keluarga ayah Idong.
Malam ini adalah terakhir menginap di rumah ayah, esok pagi setelah sarapan
kami akan kembali lagi kerumah masing-masing.
Tempat menyimpan padi |
Malam
hari kami berdiskusi dengan ayah tentang Urang Kenekes. Urang
kanekes atau Baduy Dalam cenderung menggunakan pakaian dengan warna putih polos
tapi ada juga yang memakai warna hitam, disebut dengan nama Jamang Sangsang. Nama tersebut sesuai
dengan bagaimana cara baju tersebut dipakai. Baju Jamang Sangsang digunakan dengan cara disangsangkan di badan, baju
ini tidak memakai kancing maupun saku, semua dijahit mengunakan tangan. Bahan yang digunakan terbuat dari alam yaitu pintalan
kapas asli yang diperoleh dari hutan. Sebagai bawahan, orang Baduy Dalam
mengenakan sarung warna hitam atau biru tua yang dililit dipinggang. Tak lupa
ikat kepala dari kain putih juga dikenakan sebagai pembatas rambut namanya telekung.
![]() |
Ayah dan Rasyid |
![]() |
Remaja Baduy Dalam, yang berjumpa di Jalan |
Suku Baduy
Dalam mempunyai 3 kampung yaitu Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik, namun sudah tiga kali ke Baduy Dalam saya selalu
menginap di Cibeo. Kampung yang masih berpegang teguh dengan adat – istiadat ditengah
kemajuan zaman yang semakin modern. Di Baduy Dalam, setiap tamu yang datang
tidak boleh memotret, mandi tidak boleh mengunakan bahan-bahan kimia.
Masyarakat
Baduy Dalam hidup berdampingan dengan alam dan penuh rasa gotong royong, gemar
berjalan kaki kemanapun dan tentu tanpa alas kaki, kalau kalian tahu orang
Baduy Dalam tidak ada yang obesitas semua ramping-ramping, mereka tidak memakai
perhiasan emas. Rumah mereka pun sederhana, minum dengan gelas bambu, makan
dengan daun pisang tanpa mengunakan sendok dan tidak makan daging kambing.
Kepala suku Baduy
Dalam disebut Pu’un. Tugas Pu’un adalah menentukan masa tanam dan
panen, menerapkan hukum adat terhadap warganya dan mengobati yang sakit. Di
Baduy Dalam ada masa, dimana tidak boleh dikunjungi yaitu masa “Kawalu”.
Dimana masyarakat Baduy Dalam sedang berpuasa dan menjalankan ritual/berdoa
kepada Tuhan, agar negara ini tentram dan aman. Masa Kawalu berlangsung selama
3 bulan.
Sistem pertanian
urang Kanekes juga unik, kebetulan pada waktu saya datang sedang masa musim
tanam. Mereka tidak merubah kontur lahan
bagi ladang, semua dilakukan dengan sederhana tanpa dibajak.
![]() |
Padi |
![]() |
Padi |
Padi setelah masa panen |
![]() |
Buah Langsat |
Urang Kanekes
atau Baduy Dalam bermukim di sekitar pegunungan Kendeng di desa Kanekes,
kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Berada
diketinggian 300-600 mdpl dan berudara sejuk. Berbahasa Sunda, percaya Nabi Adam
dan memeluk Sunda Wiwitan yang merupakan ajaran leluhur yang turun temurun.
![]() |
Rumah tradisional Baduy luar |
![]() |
Rumah Baduy Luar |
Ada 2 prinsip
ajaran “Sunda Wiwitan” :
a.
Cara– ciri manusia
yaitu unsur dalam kehidupan manusia seperti welas kasih, tata karma, budi
budaya dan bahasa
b.
Cara – ciri bangsa
yaitu unsur pembeda manusia seperti rupa, adat, bahasa dan aksara.
Malam
semakin larut, perbincangan pun disudahi. Hari ini saya banyak belajar dari
urang Kanekes apa itu kehidupan. Lalu kami pun beristirahat, karena besok akan
kembali ke Ciboleger. Tak terasa pagi pun tiba, saya terbangun dan membantu
ambu membuat sarapan pagi yaitu nasi goreng dan telur ceplok. Selepas sarapan kami akan diantarkan ayah
menuju Ciboleger, tapi sebelumnya saya mengajak ambu untuk ikut turun ke
jembatan bambu untuk berfoto bersama. Perjalanan saya kali ini berasa special,
karena pas pulang diantar satu keluarga ayah, kecuali Pulung. Saya pun diberi
oleh-oleh ambu sawi dari ladang untuk dimasak begitu sampai rumah.
![]() |
Ayah Idong dan Ambu |
![]() |
Foto bersama keluarga Ayah Idong |
Berkunjung ke Baduy
Dalam, banyak mengajarkan saya tentang kejujuran, kesederhanaan, dalam hidup
serta menyatu dengan alam dan belajar tentang kearifan lokal. Terima kasih.
Hal-Hal yang perlu diperhatikan jika berkunjung ke
Baduy Dalam :
a. Kesiapan
fisik, ini penting karena mencapai Baduy Dalam hanya dengan jalan kaki lebih
kurang 5-6 jam;
b. Persiapkan logistik,
baik untuk bekal di selama perjalanan dan selama menginap di Baduy Dalam,
berupa beras, ikan asin, sarden, telur dan lain-lainnya. Asikkan bisa makan
bersama dengan keluarga dimana tempat menginap;
c. Baju ganti,
ini penting apalagi kamu menginap beberapa hari di Baduy Dalam;
d. Jaket, dimalam
hari udara sangat dingin;
e. Senter atau headlamp sebagai penerangan;
f. Saat trekking
memakai sepatu atau sandal gunung;
g. Patuhi dan
hormati adat-istiadat setempat, pejalan yang baik akan bersikap santun
dimanapun berada;
h. Dilarang
memotret di Baduy Dalam;
i. Dilarang
mengunakan bahan kimia saat mandi di Baduy Dalam;
j. Bawa
obat-obatan pribadi dan P3K;
k. Di Ciboleger
belum ada ATM jadi usahakan di Rangkasbitung kamu siapkan uang cash, biar bisa belanja tenun Baduy, madu dan gula merah sebagai oleh-oleh;
l. Jangan Buang
Sampah Sembarangan.
Transportasi menuju Baduy :
1.
Kereta, dengan
commuter line Tanah Abang –
Rangkasbitung
2.
Naik angkot
merah menuju terminal Aweh tarif Rp. 5.000,-/orang
3.
Lanjut naik Elf
terminal Aweh – Ciboleger Rp. 25.000,-/orang
(note : Terminal Aweh – Ciboleger terakhir jam
14.30 dan Ciboleger – terminal Aweh jam 13.00)
4.
Registrasi
masuk Baduy Rp. 5.000,-/orang