Rabu, 10 Juni 2015

Masjid AL Ikhlas Peninggalan Dahulu di Belitung

Ketika melakukan perjalanan ala ransel ke Belitung 3 Tahun lalu saya sempat mengunjungi sebuah Masjid tertua di Belitung. Masjid pertama dibangun pada tahun 1817 terletak di Jalan Penghulu Desa Sijuk Pulau Belitung sebelah utara.
Nampak Plang Majid terdapat di Depan, Masjid Al Ikhlas Sijuk Belitung
Nampak Plang Majid terdapat di Depan, Masjid Al Ikhlas Sijuk Belitung
Masjid Al Ikhlas ini merupakan saksi sejarah perjuangan rakyat Belitung melawan Belanda, yang pada saat itu masjid ini menjadi pusat komando perjuangan rakyat Belitung. Terekam kesederhanaan masjid ini dari sisi arsiteknya. Dinding masjid berwarna coklat dan memiliki atap berundak dua, disamping masjid terdapat aula pertemuan  dalam bentuk yang menyerupai masjid, sehingga tampak kalau dari luar seperti kembar. Arsitektur masjid ini mencirikan khas bangunan Belitung, bentuk masjid bujursangkar berukuran 8 meter x 8 meter, hingga saat ini tetap dipertahankan keasliannya. Bagian mihrab agak menjorok dari bangunan utama dan diberi atap dengan bentuk yang sama dengan bangunan utamanya. Bagian atas mihrab tertera tanggal perbaikan masjid dengan huruf arab melayu, bertuliskan “diperbaiki 1 Rajab 1370 Hijriyah”.
Masjid Al Ikhlas Sijuk Belitung
Masjid Al Ikhlas Sijuk Belitung
Masjid Al Ikhlas Tampak Depan
Masjid Al Ikhlas Tampak Depan
Seluruh bagian masjid terbuat dari material kayu, hanya lantai yang sudah keramik. Sekitar 300 meter sebelah barat dari masjid kita akan melihat klenteng, menurut keterangan penjaga masjid dan klenteng dua tempat ibadah ini di bangun oleh orang Tionnghoa pada tahun yang sama. Masjid adalah bangunan yang pertama selanjutnya baru Klenteng.
Dilihat dari bukti peninggalan sejarah kedua bangunan tersebut di atas digambarkan bahwa sejak dulu hingga sekarang ini kerukunan beragama di Belitung terjaga dengan baik, demikian juga keakraban antara penduduk Pribumi dan Tionghoa.
Bedug di Masjid Al Ikhlas ini juga dibuat dari Tahun 1817
Bedug di Masjid Al Ikhlas ini juga dibuat dari Tahun 1817
Dapat dilihat perjalanan sejarah mengenai Pulau Belitung tidak lepas dari sejarah Pulau Bangka. Sekitar tahun 1709, timah ditemukan di Pulau Bangka oleh orang-orang Johor. Sejak tahun 1710 sumber-sumber Timah di Pulau Bangka dan Belitung dikelola Kesultanan Palembang, untuk mengelola sumber Timah tersebut Sang Sultan harus mendatangkan tenaga ahli pertambangan dari China. Pada Tahun 1717, Sultan Palembang meminta VOC untuk menumpas Bajak Laut di perairan Bangka-Belitung serta mencegah penyelundupan timah. Permintaan dikabulkan. Lima tahun kemudian, VOC mengajukan kerjasama yang merugikan Kesultanan Palembang, menjual timah kepada VOC dan boleh membeli timah sesuai dengan jumlah yang mereka perlukan.  Akibat dari perjanjian ini tidak hanya merugikan Kesultanan, pasar timah di Palembang pun hampir merosot tajam. Alhasil, penyelundupan timah marak kembali. Timah dijual di luar kawasan Palembang. Hal ini sangat merugikan VOC. Maka pada tahun 1803, utusan VOC, V.D. Bogarts dan Kapten Lombart bertolak ke Bangka-Belitung untuk menunjukkan ketegasan bahwa pihak kolonial adalah penguasa tunggal timah di tanah ini. Dalam hal ini Monopoli pihak Belanda atas timah harus dihentikan.Untukitu maka dibuatlah  Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 menyatakan bahwa Belanda harus menyerahkan daerah-daerah taklukannya kepada pihak Inggris, meliputi Jawa, Timor, Makassar, Palembang, dan daerah taklukan lainnya.
Tindak lanjut Perjanjian Tuntang, Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, mengirimkan utusan ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur dan tambang timah di pulau Bangka dan Belitung. Namun, upaya Inggris mengambil alih Palembang dan Bangka-Belitung ditentang oleh Sultan Palembang, Sultan Mahmud Badarudin II.
Raffles mengirim kembali utusan, Mayor Jendral Roobert Rollo Gillespie ke Palembang pada tanggal 20 Maret 1812. Kedatangannya ditolak oleh Sultan Palembang. Dua kali gagal, Inggris mulai melaksanakan politik devide et impera. Mereka mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang pada tahun 1812 yang bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Sebagai imbalannya, Sultan Najamuddin menyerahkan Bangka-Belitung kepada Inggris. Pada tanggal 20 Mei 1812, Bangka-Belitung resmi menjadi jajahan Inggris dengan nama Duke of Island.
Kekuasaan Inggris di Bangka-Belitung hanya dua tahun. Tepat pada tanggal 13 Agustus 1814, Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London, yang isinya mengembalikan wilayah jajahan Inggris di nusantara kepada Belanda, termasuk di dalamnya Bangka-Belitung. Selama berada dalam genggaman Belanda dan Inggris, kondisi Bangka-Belitung sangat memprihatinkan. Sumber-sumber timah digali besar-besaran tanpa memperdulikan kaum pribumi dan lingkungan sekitarnya. Penipuan, pemerasan dan eksploitasi tiada batas menimbulkan kebencian penduduk asli Bangka-Belitung. Puncaknya adalah sikap perlawanan. Dibawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin dan Tikal, masyarakat Bangka-Belitung melawan pendudukan kolonial dan mengusirnya. Namun, perlawanan yang dilakukan selama bertahun – tahun tidak mampu mengalahkan Belanda dari tanah Bangka-Belitung. Belanda tetap bercokol dan berkuasa di Bangka-Belitung.
Perebutan lahan tambang timah berlanjut terus hingga masa kemerdekaan. Tidak sedikit upaya masyarakat Bangka-Belitung melepaskan diri dari berbagai cengkeraman berbagai kekuasaan yang datang silih berganti. Kekayaan alam yang dimiliki hanya memberi manfaat sangat kecil kepada masyarakat setempat. Eksploitasi luar biasa pada masa lalu meninggalkan dekadensi alam yang nilainya tak terhingga.
Hingga kini, kedamaian masyarakat Belitung tampak bisa dilihat dari kerukunan umat beragama. Peristiwa di masa lalu adalah pelajaran berharga. Jejak perjalanan sejarah Belitung masih terpelihara sampai dengan sekarang, salah satunya Masjid Al Ikhlas sebagai bukti.
Malsjid Al Ikhlas tampak dari Samping
Malsjid Al Ikhlas tampak dari Samping
Pintu Gerbang Masjid Al Ikhlas Sijuk Belitung
Pintu Gerbang Masjid Al Ikhlas Sijuk Belitung
Kalau dilihat dari segi usia Masjid Al Ikhlas ini sudah ratusan tahun, tapi hingga kini masih tampak terpelihara dengan baik
Kalau dilihat dari segi usia Masjid Al Ikhlas ini sudah ratusan tahun, tapi hingga kini masih tampak terpelihara dengan baik

Petualangan Dari Sudut Pandang - Ika Soewadji -

  Tidak Menyangkal era perkembangan jaman saat ini, memudahkan aku sebagai pejalan untuk melakukan petualangan. Berpetualang bagi aku prib...