Selasa, 20 Juni 2017

Kampung Kuningan sebagai Peradaban Jejak Islam Jakarta


Siang hari yang terik terlihat dilayar handphone suhu Jakarta mencapai 33 derajat celcius, dengan ojek online saya menuju Museum Satria Mandala, Gatot Subroto sebagai meeting point Ngojak dan jam 14.00 wib sebagai jam kumpul. Ketika datang hanya saya dan Mas Pams saja sementara yang lain belum ada. Sambil menunggu kita pun mengambil gambar museum, yang menurut Mas Pams kesini 30 tahun yang lalu ketika masih balita, kebayang dunk udah lama banget hehe...:D
Penampakan Museum Satria Mandala
Foto : Ika Soewadji
Setelah berkumpul semua Mas Fiyan membuka Ngojak hari ini, diawali perkenalan masing-masing dan mulai penjelajahan di kawasan segitiga emas Jakarta, bersama Bang Reyhan sebagai narasumber, mari kita mulai sahabat pejalan. 

Mas Fiyan membuka acara Ngojak
Foto : Kang Ali Zaenal

Rekan-rekan Ngojak
Foto : Kang Ali Zaenal
Taukah kalian diantara gedung pencakar langit Mega Kuningan dan Gatot Subroto, menceritakan sebuah kisah masa lalu yang epiiik, "kenapa bernama Kuningan? dan kenapa saya bilang epiiik? ini jawabannya.."

Sabtu, 17-06-2017 saya mendapat semua jawaban. Ada masjid yang berada di dalam Museum Satria Mandala yang dibangun pada tahun 1527 bernama Masjid Al-Mubarok, masjid ini didirikan oleh Adipati Awangga atau Pangeran Kuningan. 

Penanda Masjid Al-Mubarok
Foto : Ika Soewadji
Dalam Masjid Al-Mubarok
Foto : Ika Soewadji
Ketika berdiam diri selepas sholat Ashar, saya seperti merasakan aura masa lampau bagaimana jejak Islam di kampung ini. Pada tanggal 22 Juni 1527 Pangeran Kuningan mengusir pasukan Portugis dari Indonesia di Sunda Kelapa bersama Falatehan, Adipati Keling dan Pangeran Cakrabuana. Kemenangan pasukan Demak Cirebon dengan keempat pasukan mengusir Portugis pada masa itu diproklamirkan sebagai hari jadi Jakarta. 

Ornamen Pintu dan Jendela Masjid Al-Mubarok
Foto : Ika Soewadji
Masjid Al-Mubarok ini merupakan masjid tertua di Jakarta, serta disinilah Pangeran Kuningan mendidik murid-muridnya menyiarkan agama Islam. Pangeran Kuningan juga dianggap sebagai proklamator Jayakarta pada masa itu, dalam hal ini beliau sebagai pendiri kota Jakarta yang kini menjadi tempat tinggal saya. Hal seperti inilah yang tidak banyak diketahui banyak orang, karena saat belajar sejarah di sekolah tidak ada cerita ini. Beliau juga merupakan penyebar agama Islam di Nusantara ini tak kalah dengan Wali Songo.

Bang Reyhan disalah satu makam
di kawasan Masjid Al-Mubarok
Selepas melihat Masjid Al Mubarok saya dan rekan-rekan  Ngopi (di) Jakarta atau Ngojak melanjutkan perjalanan menuju makam Pangeran Kuningan, yang berada tepat di Gedung Telkom Gatot Subroto. Pertama dapat info dari Mas Fiyan, "nanti jangan kaget yang lihat makamnya". Benar saja begitu sampai saya, izin ke pihak keamanan untuk melihat makam "Ada jawaban dari seorang satpam yang mengatakan, silahkan saya senang jika ada yang ziarah". Hmmmm...Saya lalu diantar seorang satpam, sambil melihat-lihat karena lokasinya membuat #miris berada dipojokan anak tangga gedung mewah tersimpan makam pejuang Jakarta pada masa itu, ditemani sisa-sisa puing bangunan dan sampah-sampah mengingat gedung dalam tahap renovasi. Saya haturkan doa dengan Al-Fatihah agar beliau selalu dilapangkan dalam kuburnya, amin YRA. 

Makam Pangeran Kuningan
Foto : Ika Soewadji
Kondisi Makam Pangeran Kuningan saat ini
Foto : Ika Soewadji
Bergabung dengan Ngojak membuat saya makin mencintai Jakarta dari sudut apapun, jika kita menelisik lebih dalam. Perjalanan masih dilanjut menapaki jejak peradaban Islam di kawasan segitiga emas Jakarta. Menikmati Jakarta sore hari sambil belajar itu memang punya kenikmatan tersendiri, apalagi disaat bulan Ramadhan. Sambil menanti buka puasa atau istilahnya #ngabuburit, memandang langit dan gedung pencakar langit, terlihat Masjid Baitul Mughni yang megah ditepian jalan Gatot Subroto. 

Kemegahan Masjid Baitul Mughni
Foto : Ika Soewadji
Begitu tiba di pelataran Masjid Baitul Mughni Mas Fiyan dan Bang Reyhan mulai menceritakan tentang masjid megah ini. Masjid Baitul Mughni merupakan wakaf dari Guru Mughni, ulama kondang Betawi sekitar tahun 1940-an. Dikalangan Betawi, ulama yang mengajarkan agama disebut sebagai guru. 

Masjid Baitul Mughni menempati area sekitar 6000-an meter persegi terdiri dari gedung Sekolah Islam Al-Mughni, Pusat Kajian Hadis, dan Al-Mughni Islamic Center. Abdul Mughni bin H. Sanusi bin Ayub bin Qoys atau yang lebih dikenal dengan Guru Mughni, lahir di Kuningan Jakarta, sekitar 1860 dari pasangan H. Sanusi bin Ayub dan Hj. Da'iyah binti Jeran. 

Perjalanan dilanjutkan setelah membeli amnunisi untuk berbuka dan  Langgar Rawa Bunder tempat dimana Guru Mughni di makamkan. Melewati jalan kecil perkampungan, masih ada jejak rumah Betawi tempo dulu yang nyempil, namun masih terawat dengan baik, saya pun sempat mengabadikannya lewat layar ponsel. Tak berapa lama kami semua tiba di makam.

Rumah Betawai Tempoe Doeloe
Foto : Ika Soewadji
Makam Guru Mughni
Foto : Kang Ali Zaenal
Foto Bersama Ngojak di Langgar Rawa Bunder Kuningan Jakarta
Foto : Kang Ali Zaenal
Dalam buku sejarah Betawi yang ditulis Ridwan Sardi, Guru Mughni merupakan ulama Batawi generasi kelima bersama Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Madjid di Pekojan, Guru Mansur di Jembatan Lima, Guru Mahali di Kebayoran, Habib Utsman di Petamburan dan Habib Ali di Kwitang. Dari setiap perjalanan bersama Ngojak banyak hal yang saya pelajari termasuk ketika berkunjung ke makam K.H Abdul Mughni di kawasan megah ini, terpetik "Bagi kami, tidak hanya bersifat mendoakan, tapi juga meneladani yang baik dari hidup almarhum". 

Novi dan Mas Bimo
Adu kompor Trangia, kompor Gas dan kompor karya Mas Bimo
Foto : Ika Soewadji
Adu Kompor
Foto : Ika Soewadji
Ngariung sharing bersama Ngojak
Foto : Mbak Rahmah
Selepas mendoakan, kami semua berkumpul di halaman langgar untuk siap-siap berbuka dan sholat magrib. Ada yang sibuk membuat kopi dan teh, itulah ciri khas Ngojak "kebersamaan". Sesi terakhir yang paling saya tunggu di Ngojak adalah sharing dari masing-masing yang ikut acara hari ini, seru pokoknya dan ada penyerahan hadiah kebetulan saya yang dapat hadiah buku "Batik Eksistensi untuk Tradisi" karya Komarudin Kudiya, M.DS. Terima kasih Ngojak dan rekan-rekan yang saling berbagi bersama diacara "Kampung Kuningan (Jejak Islam di Segitiga Emas)". 





Petualangan Dari Sudut Pandang - Ika Soewadji -

  Tidak Menyangkal era perkembangan jaman saat ini, memudahkan aku sebagai pejalan untuk melakukan petualangan. Berpetualang bagi aku prib...