Minggu, 06 September 2020

Kembali Ke Baduy Dalam, Merasakan Kesederhanaan Alam dan Adat

 

Lepas dari Sukabumi, aku memilih jalan kembali menuju Baduy Dalam via Ciboleger, Kabupaten Lebak-Banten.

KENAPA AKU MEMILIH BADUY DALAM?

Jawabnya : Rindu Keluarga Ayah Idong di Cibeo.

Dalam urusan traveling, aku suka dadakan tidak pernah direncanakan jauh-jauh hari, maklum kalau jauh-jauh hari dan melibatkan banyak orang ujungnya ndak jadi, alhasil wacana donk (ini pengalaman).



Seminggu sebelum berangkat aku menghubungi Pulung, untuk memberitahu Ayah Idong di Baduy Dalam,  bahwa aku akan berkunjung dan minta dijemput di Ciboleger. Urusan buat janji dengan orang Baduy Dalam itu on time alias tepat waktu. Aku berpesan ke Ayah untuk jemput siang saja, namun Ayah sudah jalan dari jam 7 pagi dari rumah di Baduy Dalam, dan beliau menunggu dengan sabar.

Hari itu, lepas subuh aku berangkat menuju Rawa Buntu, sebagai lokasi meeting point dengan Sigit. Tepat jam 06.45 wib aku tiba di Rawa Buntu, terlambat 15 menit. Setelah itu kami naik commuter line menuju Rangkasbitung, kondisi kereta tidak terlalu penuh dan nyaman tidak berdesakan.

Tepat jam 08.30 kami tiba di Rangkasbitung dan mencari ATM BCA untuk mengambil uang dan melengkapi logistik yang masih kurang, namun semua terabaikan karena kondisi pasar yang ramai jadi aku mengurungkan niat.

Kami, lalu menuju terminal aweh dengan menumpang angkot warna merah, cukup membayar Rp. 10.000,- untuk berdua. Angkot berhenti tepat didepan terminal, aku lalu turun dan mengangkat ransel ku dan bertanya, elf tujuan Ciboleger. Aku mendapati elf berwarna hijau kuning bernamakan “YUNITA”, milik Mang Buyur yang aku kenal dari Ayah Idong.

Aku dan Sigit memilih duduk di depan, biar nyaman dan tidak berdesakan, mengingat perjalanan terminal Aweh – Ciboleger ditempuh lebih kurang dua jam, karena ngetem ambil menunggu penumpang dan berangkat sesuai jadwalnya, (info jika KAMU ingin berkunjung ke Baduy Luar dan Dalam dengan transportasi umum, bisa mengunakan mobil elf dari terminal Aweh – Ciboleger terakhir jam 14.30, sedangkan Ciboleger – Stasiun Rangkasbitung terakhir jam 13.00 tarif Rp. 25.000,-/orang.)

Perjalanan Aweh – Ciboleger kami nikmati sambil melihat pemandangan sekitar, ada yang sedang panen, pembangunan danau tempat wisata (menurut Mang Buyur), bahkan menikmati udara perjalanan yang panas.

Tepat jam 11.00 mobil elf memasuki Ciboleger, lalu turun sambil mengendong ransel dan membawa logistik makanan yang akan kami santap selama 3 hari 2 malam di Baduy Dalam bersama Ayah Idong dan keluarga, hanya kurang beras saja. Aku langsung menuju warung Pak Agus untuk makan dan beristirahat sejenak, sambil menunggu Ayah Idong. Namun, perasaanku campur aduk, ketika tidak mendapati Ayah idong disana, aku menenangkan diri bilang ke Sigit izin untuk melengkapi logistik di warung sebelah. Aku keluar dari warung dan menuju toko kelontong untuk belanja, tak berapa lama aku meihat Ayah Idong dan Sanan, perasaan langsung lega, alhamdulillah.




Aku langsung bersalaman dengan Ayah Idong, betapa rindunya aku sama beliau yang sudah seperti Ayah ku sendiri. Aku langsung memperkenalkan Ayah Idong dan Sanan, dan mempersilahkan beliau untuk makan dahulu, sementara aku belanja ke toko kelontong. Lepas makan dan istirahat sejenak, kami berfoto dahulu di tugu khas Ciboleger dan Sigit membuat story.

 

Perjalanan menuju Baduy Dalam

Perjalanan menuju Baduy Dalam akan segera dimulai lepas Dzuhur, hawa terik terasa dipergelangan tangan. Dimulai berdoa, agar perjalanan ini lancar dan tiba dengan selamat hingga rumah kembali. Sebelum masuk ke area Baduy Luar aku mencuci tangan dahulu, mengikuti protokol kesehatan dan memakai masker, serta mengisi daftar hadir dan membayar tiket masuk Rp.5.000,-/orang.




Hari ini, 28 Agustus 2020. Aku dan Sigit orang pertama yang mamasuki Baduy Luar dan Dalam, kondisi sepi sekali. Namun, tak berapa aku mendapati warga yang sedang bergotong royong membangun rumah dan memasak untuk hajatan, salut sama warga Baduy Luar dan Dalam yang masih mempertahankan budaya gotong royong.




Satu jam pertama melewati Gazebo, nampak jembatan bambu yang baru selesai dan berwarna hijau. Ayah memberitahu bahwa ini dibangun kemarin, berpikir coba kesininya kemarin bisa melihat secara langsung jembatan yang dibangun tanpa paku ini. Di bangun secara gotong royong oleh warga Baduy Luar dan Dalam  lebih kurang 100 orang, istirahat sejenak sambil mengambil beberapa foto. Lalu melanjutkan perjalanan menuju Cikaler, desa dimana Darti dan Rian anak kedua Ayah tinggal.



Darti adalah putri kedua Ayah Idong yang menikah dengan Rian dari Baduy Luar, dan sekarang menjadi warga Baduy Luar. Disini kami memakan gula aren sebagai penambah stamina untuk trekking kembali menuju Baduy Dalam.




Trekking dilanjutkan kembali menuju Saung lepas tanjakan curam, aku memberitahu Sigit nampak didepan jembatan perbatasan antara Baduy Luar dan Dalam. Jembatan ini pun baru, yang dibuat oleh Ayah Idong kemarin bersama warga Baduy Dalam lainnya secara gotong royong. Butuh waktu 40 menit dari Cikaler hingga tiba di Saung.




Melewati tanjakan curam yang tak terlupakan, dan bingung tidak sedikit pun membuat kapok walau sudah beberapa kali melewatinya, tetap ingin kembali. Tiba di saung disambut hangat oleh ambu, menaruh ransel, melepas sepatu dan kemudian menikmati udara segar disamping saung ayah, sambil bercerita dengan Sigit. Nampak dikejauhan, matahari akan segera tenggelam tak terasa karena keasikan menikmati pemandangan indah didepan mata (hanya ada dimemori, karena tidak bisa diabadikan dengan lensa kamera).

 

Menginap di Rumah Ayah Idong di Ladang

Aku dan Sigit memutuskan untuk menginap di saung, mengingat ayah sedang merenovasi saung lamanya dan ketika akan kembali ke Ciboleger lebih dekat.

Ketika treeking aku mendapati banyak pohon kecombrang atau honje dijalur, dan aku sampaikan ke Ayah. Ayah lalu bilang di ladang dan rumah banyak, nanti diambilkan. Wajahku langsung sumringah, kalau mendapati kecombrang, maklum makanan favorit aku, bahkan kadang dibuat jus.



Menjelang magrib, aku menyiapkan bahan pangan yang akan dimasak. Sementara Ambu menanak nasi, aku mulai menumis oseng teri medan kecombrang dan telur dadar, alhamdulillah menu makan malam kami. Sederhana, namun nikmat.

Lepas makan malam, kami berdiskusi sejenak karena makin larut dan beristirahat, karena esok lepas sarapan akan main ke Kampung Cibeo. Mengajak Sigit, mampir juga ke rumah Ayah.

 

Melanjutkan Perjalanan ke Cibeo

Di dapur, Ambu sudah menyalakan api untuk menanak nasi yang akan kami santap sebelum berangkat Cibeo. Kemudian, bersama dua anak ayah dan ambu lainnya, Sanan dan Sarim, kami bersama-sama menikmati sarapan.

Perlu waktu 40 menit bagi kami untuk mencapai rumah ayah di Cibeo, (itu pun termasuk mampir di ladang kakek, mertua Ayah Idong, dimana ayah mengambilkan kami kelapa muda untuk minum sebagai pelepas dahaga selepas trekking). Allah menganugerahi Baduy Dalam berbagai kekayaan alam. Makanan, semuanya ada.




Tak berapa lama kami tiba di rumah ayah, kemudian mandi. Buat aku, sensasi mandi di Baduy Dalamamat berbeda, Kenapa aku bilang begitu? Karena mandi di sini tidak memakai sabun dan sampo. Sikat gigi pun diganti siwak.

Selepas mandi badan terasa segar. Usai bersih-bersih, kami memilih untuk kembali ke ladang. Karena suasana Balai Rakyat yang sepi dan tidak ada yang bermain angklung, tidak seperti biasa ketika aku datang sebelumnya.

 

Cibeo, Cikeurtawana, Cikeusik

Beranjak siang, kami kembali menuju saung ayah di ladang. Melewati jalur yang berbeda, kalau menurut ayah agar tidak banyak jalur menanjak, menyusuri hutan, hawa sejuk sangat terasa dan membuat tubuh ini makin segar. Aku melihat banyak sekali pohon sagu tumbuh subur dan ada seorang remaja yang sedang memanen lada diketinggian.

Mendekati saung, kami mampir ke saung menantu ayah. Achi namanya, lugu dan cantik yang sedang membersihkan kencur hasil panen ditemani Sanan. Tiba di Saung aku bermain bersama Sanan, kejar-kejaran sambil bermain kapal-kapalan dari daun. Aku merasa bahwa kebahagian itu sesungguhnya sederhana. Suasana seperti itulah yang selalu aku rindukan dari Baduy Dalam.

Ayah sibuk merapihkan saung, sementara ambu dan Achi membersihkan panen kencur bersama aku juga. Tak berapa lama Achi, membawakan aku pisang uli kukus hasil dari kebun. Manis sekali pisangnya, tak berapa lama ada tamu lain yang menumpang beristirahat didepan saung ayah, aku pun memberikan dua pisang kukus tadi sebagai penunda rasa lapar.

Malam terakhir di Baduy Dalam, kami berdiskusi dengan ayang tentang urang Kanekes, sebutan bagi orang Baduy Dalam. Urang Kanekes cenderung mengunakan pakaian berwarna putih polos-tapi ada juga yang berwarna hitam-yang disebut dengan jamang sangsang, merujuk pad acara baju tersebut dipakai.


Baju jamang sangsang dikenakan dengan cara disangsangkan ke badan, tak ada kancing maupun saku. Semua dijahit tangan. Bahannya dari alami, yakni pintalan kapas asli yang diperoleh dari hutan. Sebagai bawahan, orang Baduy Dalam memakai sarung warna hitam atau biru tua yang dililit dipinggang. Pakaian Baduy juga dilengkapi dengan ikat kepala dari kain putih sebagai pembatas rambut, yang disebut telekung.




Ada tiga kampung di Baduy Dalam yang masih berpegang teguh pada adat dan tradisi, yakni Cibeo, Cikeurtawana, dan Cikeusik. (Tentu saja di ketiga kampung Baduy Dalam tersebut pelancong tak diizinkn memotret dan mengunakan bahan-bahan kimia).

 

Belajar soal kehidupan dari “Urang Kanekes”

Masyarakat Baduy Dalam mempunyai motto “GUNUNG ULAH DILEBUR LEBAK ULAH DIRUSAK”. Mereka pun hidup berdampingan dengan alam, gemar jalan (tanpa alas) kaki. Makanya orang  Baduy Dalam ramping-ramping. Mereka tidak mengenakan emas. Rumah mereka pun  sederhana. Orang Baduy Dalam minum dengan gelas bamboo dan makan dengan daun pisang tanpa sendok. Sebagai tambahan, mereka tidak makan daging kambing.



Kepala suku Baduy Dalam disebut pu’un. Tugasnya menentukan masa tanam dan panen, menerapkan hukum adat, dan mengobati yang sakit. Di Baduy Dalam ada masa ketika mereka tidak boleh dikunjungi, yakni “kawalu”. Saat kawalu orang Baduy dalam berpuasa menjalankan ritual , berdoa pada Tuhan agar negara ini tentram dan aman.Kawalu berlangsung selama tiga bulan.




Sistem pertanian urang Kanekes juga unik. Kebetulan sekali pas kesana kemarin menjelang musim tanam. Mereka tidak banyak mengubah ladang, semua dilakukan secara sederhana.

Urang Kanekes bermukim di sekitaran Pegunungan Kendeng (300-600 mdpl) di Desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Sunda, percaya nabi Adam, dan memeluk Sunda Wiwitan yang merupakan ajaran turun-temurun dari leluhur.



Pagi pun tiba, aku bangun  dan membantu ambu memasak sarapan pagi, nasi goreng dan telur dadar. Selepas sarapan kami akan diantarkankembali ke Ciboleger. Perjalanan pulang terasa istimewa, seperti sebelumnya. Aku dibawakan oleh-oleh Ayah Idong Kecombrang dan gula aren. Terima kasih Ayah idong dan keluarga.

Jalan-jalan ke Baduy Dalam mengajarkan aku banyak hal, tentang kejujuran, kesederhanaan hidup, bagaimana menyatu dengan alam, serta kearifan lokal.

 

 

 

2 komentar:

  1. Pengen rasanya bisa berkunjung ke Baduy. Kehidupan yang masih asri dan alami. Warganya yang kompak untuk gotong royong.
    Tapi katanya wisata ke Baduy ini akan ditutup, benarkah?

    BalasHapus
  2. Salah satu bucket list yang belum kesampaian, moga terlaksana ya :)

    BalasHapus

Petualangan Dari Sudut Pandang - Ika Soewadji -

  Tidak Menyangkal era perkembangan jaman saat ini, memudahkan aku sebagai pejalan untuk melakukan petualangan. Berpetualang bagi aku prib...