Lepas dari Sukabumi, aku memilih
jalan kembali menuju Baduy Dalam via Ciboleger, Kabupaten Lebak-Banten.
KENAPA AKU MEMILIH BADUY DALAM?
Jawabnya : Rindu Keluarga Ayah
Idong di Cibeo.
Dalam urusan traveling, aku suka dadakan
tidak pernah direncanakan jauh-jauh hari, maklum kalau jauh-jauh hari dan
melibatkan banyak orang ujungnya ndak jadi, alhasil wacana donk (ini pengalaman).
Seminggu sebelum berangkat aku
menghubungi Pulung, untuk memberitahu Ayah Idong di Baduy Dalam, bahwa aku akan berkunjung dan minta dijemput
di Ciboleger. Urusan buat janji dengan orang Baduy Dalam itu on time alias tepat waktu. Aku berpesan
ke Ayah untuk jemput siang saja, namun Ayah sudah jalan dari jam 7 pagi dari
rumah di Baduy Dalam, dan beliau menunggu dengan sabar.
Hari itu, lepas subuh aku
berangkat menuju Rawa Buntu, sebagai lokasi meeting
point dengan Sigit. Tepat jam 06.45 wib aku tiba di Rawa Buntu, terlambat
15 menit. Setelah itu kami naik commuter
line menuju Rangkasbitung, kondisi kereta tidak terlalu penuh dan nyaman
tidak berdesakan.
Tepat jam 08.30 kami tiba di
Rangkasbitung dan mencari ATM BCA untuk mengambil uang dan melengkapi logistik
yang masih kurang, namun semua terabaikan karena kondisi pasar yang ramai jadi
aku mengurungkan niat.
Kami, lalu menuju terminal aweh
dengan menumpang angkot warna merah, cukup membayar Rp. 10.000,- untuk berdua.
Angkot berhenti tepat didepan terminal, aku lalu turun dan mengangkat ransel ku
dan bertanya, elf tujuan Ciboleger. Aku mendapati elf berwarna hijau kuning
bernamakan “YUNITA”, milik Mang Buyur yang aku kenal dari Ayah Idong.
Aku dan Sigit memilih duduk di
depan, biar nyaman dan tidak berdesakan, mengingat perjalanan terminal Aweh –
Ciboleger ditempuh lebih kurang dua jam, karena ngetem ambil menunggu penumpang
dan berangkat sesuai jadwalnya, (info jika KAMU ingin berkunjung ke Baduy Luar
dan Dalam dengan transportasi umum, bisa mengunakan mobil elf dari terminal
Aweh – Ciboleger terakhir jam 14.30, sedangkan Ciboleger – Stasiun Rangkasbitung
terakhir jam 13.00 tarif Rp. 25.000,-/orang.)
Perjalanan Aweh – Ciboleger kami
nikmati sambil melihat pemandangan sekitar, ada yang sedang panen, pembangunan
danau tempat wisata (menurut Mang Buyur), bahkan menikmati udara perjalanan
yang panas.
Tepat jam 11.00 mobil elf
memasuki Ciboleger, lalu turun sambil mengendong ransel dan membawa logistik
makanan yang akan kami santap selama 3 hari 2 malam di Baduy Dalam bersama Ayah
Idong dan keluarga, hanya kurang beras saja. Aku langsung menuju warung Pak
Agus untuk makan dan beristirahat sejenak, sambil menunggu Ayah Idong. Namun,
perasaanku campur aduk, ketika tidak mendapati Ayah idong disana, aku
menenangkan diri bilang ke Sigit izin untuk melengkapi logistik di warung
sebelah. Aku keluar dari warung dan menuju toko kelontong untuk belanja, tak
berapa lama aku meihat Ayah Idong dan Sanan, perasaan langsung lega, alhamdulillah.
Aku langsung bersalaman dengan
Ayah Idong, betapa rindunya aku sama beliau yang sudah seperti Ayah ku sendiri.
Aku langsung memperkenalkan Ayah Idong dan Sanan, dan mempersilahkan beliau
untuk makan dahulu, sementara aku belanja ke toko kelontong. Lepas makan dan
istirahat sejenak, kami berfoto dahulu di tugu khas Ciboleger dan Sigit membuat
story.
Perjalanan menuju Baduy Dalam
Perjalanan menuju Baduy Dalam akan segera dimulai lepas Dzuhur, hawa terik terasa dipergelangan tangan. Dimulai berdoa, agar perjalanan ini lancar dan tiba dengan selamat hingga rumah kembali. Sebelum masuk ke area Baduy Luar aku mencuci tangan dahulu, mengikuti protokol kesehatan dan memakai masker, serta mengisi daftar hadir dan membayar tiket masuk Rp.5.000,-/orang.
Hari ini, 28 Agustus 2020. Aku
dan Sigit orang pertama yang mamasuki Baduy Luar dan Dalam, kondisi sepi
sekali. Namun, tak berapa aku mendapati warga yang sedang bergotong royong
membangun rumah dan memasak untuk hajatan, salut sama warga Baduy Luar dan
Dalam yang masih mempertahankan budaya gotong royong.
Satu jam pertama melewati Gazebo,
nampak jembatan bambu yang baru selesai dan berwarna hijau. Ayah memberitahu
bahwa ini dibangun kemarin, berpikir coba kesininya kemarin bisa melihat secara
langsung jembatan yang dibangun tanpa paku ini. Di bangun secara gotong royong
oleh warga Baduy Luar dan Dalam lebih
kurang 100 orang, istirahat sejenak sambil mengambil beberapa foto. Lalu melanjutkan
perjalanan menuju Cikaler, desa dimana Darti dan Rian anak kedua Ayah tinggal.
Darti adalah putri kedua Ayah
Idong yang menikah dengan Rian dari Baduy Luar, dan sekarang menjadi warga
Baduy Luar. Disini kami memakan gula aren sebagai penambah stamina untuk trekking kembali menuju Baduy Dalam.
Trekking dilanjutkan kembali
menuju Saung lepas tanjakan curam, aku memberitahu Sigit nampak didepan jembatan
perbatasan antara Baduy Luar dan Dalam. Jembatan ini pun baru, yang dibuat oleh
Ayah Idong kemarin bersama warga Baduy Dalam lainnya secara gotong royong.
Butuh waktu 40 menit dari Cikaler hingga tiba di Saung.
Melewati tanjakan curam yang tak
terlupakan, dan bingung tidak sedikit pun membuat kapok walau sudah beberapa
kali melewatinya, tetap ingin kembali. Tiba di saung disambut hangat oleh ambu,
menaruh ransel, melepas sepatu dan kemudian menikmati udara segar disamping
saung ayah, sambil bercerita dengan Sigit. Nampak dikejauhan, matahari akan
segera tenggelam tak terasa karena keasikan menikmati pemandangan indah didepan
mata (hanya ada dimemori, karena tidak
bisa diabadikan dengan lensa kamera).
Menginap di Rumah Ayah Idong di Ladang
Aku dan Sigit memutuskan untuk
menginap di saung, mengingat ayah sedang merenovasi saung lamanya dan ketika
akan kembali ke Ciboleger lebih dekat.
Ketika treeking aku mendapati
banyak pohon kecombrang atau honje dijalur, dan aku sampaikan ke Ayah. Ayah
lalu bilang di ladang dan rumah banyak, nanti diambilkan. Wajahku langsung
sumringah, kalau mendapati kecombrang, maklum makanan favorit aku, bahkan
kadang dibuat jus.
Menjelang magrib, aku menyiapkan
bahan pangan yang akan dimasak. Sementara Ambu menanak nasi, aku mulai menumis oseng
teri medan kecombrang dan telur dadar, alhamdulillah menu makan malam kami.
Sederhana, namun nikmat.
Lepas makan malam, kami
berdiskusi sejenak karena makin larut dan beristirahat, karena esok lepas
sarapan akan main ke Kampung Cibeo. Mengajak Sigit, mampir juga ke rumah Ayah.
Melanjutkan Perjalanan ke Cibeo
Di dapur, Ambu sudah menyalakan
api untuk menanak nasi yang akan kami santap sebelum berangkat Cibeo. Kemudian,
bersama dua anak ayah dan ambu lainnya, Sanan dan Sarim, kami bersama-sama
menikmati sarapan.
Perlu waktu 40 menit bagi kami
untuk mencapai rumah ayah di Cibeo, (itu pun termasuk mampir di ladang kakek,
mertua Ayah Idong, dimana ayah mengambilkan kami kelapa muda untuk minum sebagai
pelepas dahaga selepas trekking). Allah menganugerahi Baduy Dalam berbagai
kekayaan alam. Makanan, semuanya ada.
Tak berapa lama kami tiba di
rumah ayah, kemudian mandi. Buat aku, sensasi mandi di Baduy Dalamamat berbeda,
Kenapa aku bilang begitu? Karena mandi di sini tidak memakai sabun dan sampo.
Sikat gigi pun diganti siwak.
Selepas mandi badan terasa segar.
Usai bersih-bersih, kami memilih untuk kembali ke ladang. Karena suasana Balai
Rakyat yang sepi dan tidak ada yang bermain angklung, tidak seperti biasa
ketika aku datang sebelumnya.
Cibeo, Cikeurtawana, Cikeusik
Beranjak siang, kami kembali
menuju saung ayah di ladang. Melewati jalur yang berbeda, kalau menurut ayah
agar tidak banyak jalur menanjak, menyusuri hutan, hawa sejuk sangat terasa dan
membuat tubuh ini makin segar. Aku melihat banyak sekali pohon sagu tumbuh
subur dan ada seorang remaja yang sedang memanen lada diketinggian.
Mendekati saung, kami mampir ke
saung menantu ayah. Achi namanya, lugu dan cantik yang sedang membersihkan
kencur hasil panen ditemani Sanan. Tiba di Saung aku bermain bersama Sanan,
kejar-kejaran sambil bermain kapal-kapalan dari daun. Aku merasa bahwa
kebahagian itu sesungguhnya sederhana. Suasana seperti itulah yang selalu aku
rindukan dari Baduy Dalam.
Ayah sibuk merapihkan saung, sementara
ambu dan Achi membersihkan panen kencur bersama aku juga. Tak berapa lama Achi,
membawakan aku pisang uli kukus hasil dari kebun. Manis sekali pisangnya, tak
berapa lama ada tamu lain yang menumpang beristirahat didepan saung ayah, aku
pun memberikan dua pisang kukus tadi sebagai penunda rasa lapar.
Malam terakhir di Baduy Dalam,
kami berdiskusi dengan ayang tentang urang
Kanekes, sebutan bagi orang Baduy Dalam. Urang Kanekes cenderung mengunakan
pakaian berwarna putih polos-tapi ada juga yang berwarna hitam-yang disebut
dengan jamang sangsang, merujuk pad
acara baju tersebut dipakai.
Baju jamang sangsang dikenakan dengan cara disangsangkan ke badan, tak
ada kancing maupun saku. Semua dijahit tangan. Bahannya dari alami, yakni
pintalan kapas asli yang diperoleh dari hutan. Sebagai bawahan, orang Baduy
Dalam memakai sarung warna hitam atau biru tua yang dililit dipinggang. Pakaian
Baduy juga dilengkapi dengan ikat kepala dari kain putih sebagai pembatas
rambut, yang disebut telekung.
Ada tiga kampung di Baduy Dalam
yang masih berpegang teguh pada adat dan tradisi, yakni Cibeo, Cikeurtawana,
dan Cikeusik. (Tentu saja di ketiga kampung Baduy Dalam tersebut pelancong tak
diizinkn memotret dan mengunakan bahan-bahan kimia).
Belajar soal kehidupan dari “Urang Kanekes”
Masyarakat Baduy Dalam mempunyai
motto “GUNUNG ULAH DILEBUR LEBAK ULAH
DIRUSAK”. Mereka pun hidup berdampingan dengan alam, gemar jalan (tanpa
alas) kaki. Makanya orang Baduy Dalam
ramping-ramping. Mereka tidak mengenakan emas. Rumah mereka pun sederhana. Orang Baduy Dalam minum dengan
gelas bamboo dan makan dengan daun pisang tanpa sendok. Sebagai tambahan,
mereka tidak makan daging kambing.
Kepala suku Baduy Dalam disebut pu’un. Tugasnya menentukan masa tanam
dan panen, menerapkan hukum adat, dan mengobati yang sakit. Di Baduy Dalam ada
masa ketika mereka tidak boleh dikunjungi, yakni “kawalu”. Saat kawalu orang
Baduy dalam berpuasa menjalankan ritual , berdoa pada Tuhan agar negara ini
tentram dan aman.Kawalu berlangsung selama tiga bulan.
Sistem pertanian urang Kanekes
juga unik. Kebetulan sekali pas kesana kemarin menjelang musim tanam. Mereka
tidak banyak mengubah ladang, semua dilakukan secara sederhana.
Urang Kanekes bermukim di
sekitaran Pegunungan Kendeng (300-600 mdpl) di Desa Kanekes, kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Mereka berkomunikasi dengan
bahasa Sunda, percaya nabi Adam, dan memeluk Sunda Wiwitan yang merupakan ajaran
turun-temurun dari leluhur.
Pagi pun tiba, aku bangun dan membantu ambu memasak sarapan pagi, nasi
goreng dan telur dadar. Selepas sarapan kami akan diantarkankembali ke
Ciboleger. Perjalanan pulang terasa istimewa, seperti sebelumnya. Aku dibawakan
oleh-oleh Ayah Idong Kecombrang dan gula aren. Terima kasih Ayah idong dan
keluarga.
Jalan-jalan ke Baduy Dalam
mengajarkan aku banyak hal, tentang kejujuran, kesederhanaan hidup, bagaimana
menyatu dengan alam, serta kearifan lokal.
Pengen rasanya bisa berkunjung ke Baduy. Kehidupan yang masih asri dan alami. Warganya yang kompak untuk gotong royong.
BalasHapusTapi katanya wisata ke Baduy ini akan ditutup, benarkah?
Salah satu bucket list yang belum kesampaian, moga terlaksana ya :)
BalasHapus