Kamis, 09 April 2015

Bertandang ke Wae Rebo

Menuju Waerebo penuh perjalanan panjang buat saya, dari Ruteng naik truk  selama 5 jam dengan jalan berkelok-kelok sehingga tak henti seluruh penumpang bergoyang, penuh cerita didalam truk yang penuh sesak itu banyak canda tawa dengan para mama yang akan berjualan kepasar. Hingga sampailah disebuah desa bernama Dintor, perjalanan dilanjutkan agak menanjak menuju rumah Pak Martin dimana saya akan menginap hmmmm, hanya kata syukur yang saya teriakan ketika sampai di rumah Pak Martin rumah panggung, menghadap ke pematang sawah, dikelilingi pegunungan sebelah kanan sebelah kiri laut biru dan pemandangan Pulau Mules *subhanallah. Malamnya saya disajikan kopi Flores plus singkong rebus disertai makan malam dengan ikan tongkol bakar, nasi merah, tumis bayam dengan kembang pepaya, kerupuk, tak lupa lombok dengan garam, ternyata ada sejarahnya kena ada lombok dengan garam yaitu orang Manggarai tidak suka makan pedas. Oh ya di Dintor tidak ada listrik sehingga masyarakat disini mengunakan genset yang dinyalakan dari jam 6 sore hingga jam 4 pagi. Hmmm…. benar-benar damai disini buat saya, sampai akhirnya saya tertidur karena harus bangun subuh untuk siap-siap berangkat  untuk trekking menuju Waerebo, kami berlima terdiri dari Amri, Anna, Reza, saya dan Pak Marsel Guide. Setelah semua siap kami berangkat dengan ojek masing-masing sampai Desa Denge. Dari Denge tepatnya sebuah sekolah SD langkah mulai dihentakkan melalui hutan kecil , Sungai Waelomba setelah melewati sungai saya bertemu dengan Ame Allex dan Ine Veronica yang kebetulan habis membeli kebutuhan pokok didesa, sepanjang perjalanan saya bercerita dengan mereka sambil menikmati alam yang indah dan berudara sejuk ini disesekali kami istirahat, banyak sekali  pacet jadi mohon berhati-hati ya sebaiknya mengunakan sepatu , tak terasa sudah 3 jam bejalan kaki akhirnya tiba di Ponto Nao ada jembatan untuk cari signal untuk warga Wae Rebo jika ingin berkomunikasi dengan handphone, menuju Wae Rebo 1 jam lagi dari jembatan ini. Terlihat dari jembatan ini pusat Wae Rebo sebuah dusun yang mengepulkan asap dari kerucut-kerucut aneh yang berkumpul dari sebuah tanah lapang hijau di balik-balik bukit, itulah sisa-sisa desa purbakalaMbaru Niang yang hampir punah…




Hasil bertani kopi Suku Waerebo Manggarai Flores NTT
 Akhirnya setelah perjalanan panjang tiba didusun Wae Rebo saya langsung lari dan menyapa anak-anak “Helooo”merekan menjawab dengan lambaian tangan dan langsung memeluk saya saat itu hmmmmmm, *subhannallah. Dusun ini jauh terlihat dari keramaian dengan pegunungan hujan tropis dan lembah hijau yang mendekap hangat untuk 7 rumah kerucut, adalah Wae Rebo  inilah satu-satunya tempat yang masih mempertahankan sisa arsitektur adat budaya Manggarai yang terancam ditinggalkan. Sesampainya saya disambut hangat oleh kepala suku tetua Pak Rafael dan lain-lainya *saya lupa*, suguhan yang khas disini adalah Kopi, teh sumang ditambah ubi, talas, dan akan disajikan daging ayam sebagai jamuan. Rasanya saya seperti mimpi berhari-hari bisa sampai sini hehehe…:D ada kesan khusus buat saya yang tidak tergantikan oleh perjalanan apapaun, karena hanya satu kali pengalaman terjadi di Wae Rebo. Di Awal obrolan saya dengan Pak Yosh saya bertanya  mengapa berbentuk kerucut dan dari mana asal muasalnya masih menjadi sebuah tanda tanya buat saya? tapi sedikit informasi saya dapatkan dari penuturan Pak Yosh yang merupakan generasi ke-18 Suku Wae Rebo. Mata pencarian Wae Rebo adalah bertani Kopi dan wanitanya menenun tradisional.
Pekerjaan Wanita Wae Rebo Menenun kain tradisional
Letak Wae Rebo sendiri berada di Kabupaten Manggarai, Kecamatan Satarmese Barat, Desa Satar Lenda,.  karena letaknya yang terlalu jauh terpisah oleh lembah  dan bukit-bukit yang berkerudung kabut diujung pohonya, sehingga banyak yang tak mengenal desa ini. Tetapi tidak untuk warga Jerman, Belanda, Brazilia, Perancis, Amerika dan negara asia lainnya sudah sangat terkesan sekali dengan kampung yang rumahnya seperti payung berbahan daun lontar atau rumbai yang disebut sebagai Mbaru Niang.



Leluhur Wae Rebo termasuk Empo Maro mewariskan 7 buah rumah kerucut yang sangat menawan meskipun telah dimakan usia dan dibina kembali, sehingga ada yayasan dari Jakarta diberitakan telah memberikan bantuan pertanda kasih sayang kepada keaslian Wae Rebo dengan mendirikan satu rumah yang bentuknya. Rumah kerucut ini terdiri dari 5 tingkat yang terdiri dari  pertama  lutur atau tenda untuk tempat tinggal penghuninya, kedua Lobo atau lotengtempat menyimpan bahan makanan dan barang , ketiga lentar untuk menyimpan bening jagung dll, keempat lempa rae untuk menyimpan cadangan makanan jika suatu saat mengalami gagal panen, kelima hekang kode tempat untuk menyimpan sajian leluhur. Di Waerebo tidak mempunyai klan tidak seperti dusun tradional lain di Indonesia, klannya  memiliki genang pusaka dirumah tersebut ditiang utama, dan di suku ini ada pantangan untuk tidak makan satu binatang bernama MUSANG, dari penuturan yang saya dapat bahwa hewan ini berhasil menyelamatkan suku Wae Rebo dari serangan musuh, sehingga MUSANG hingga kini merupakan bagian dari leluhur mereka. Di  Wae Rebo ini masyarakatnya beragama Khatolik walaupun kepercayaan animismenya masih sangat terasa kental, sebagai contoh mereka yakin tanah, air, hutan mempunyai perasaan yang tidak boleh disakiti, sehingga suku Wae Rebo memandang tanah sebagai bagian dari mereka yang patut di hormati seperti manusia, di tengah dusun terdapat panggung batu yang dikisahkan telah dibina atas bantuan penunggu hutan yang berupa manusia gagah menawan yang mampu mengangkat batu besar dengan satu tangan , masing-masing tangan dan kaki penunggu hutan memiliki jari berjumlah enam, dikisahkan rambutnya panjang dan parasnya sangat cantik, setelah panggung ini selesai tarian caci digelar dan tabuhan gendang dilaksanakan (mbata).
Suku Wae Rebo  ini para orang tuanya membebaskan anak-anaknya di usia sekolah untuk keluar Wae Rebo untuk memperoleh pendidikan SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi hingga bekerja keluar wilayah. Untuk anak usia sekolah mereka mempunyai desa bernama Kombo mereka tinggal dengan sanak saudara disana. Banyak  pengalaman yang saya petik dari perjalanan kali ini tentang arti sebuah kebersamaan, kekeluargaan, memelihara adat budaya leluhur yang banyak terbuang karena kemajuan teknologi tetapi disini tidak.

Bersama Keluarga Besar Waerebo di depan rumah utama
Terima kasih saya ucapkan untuk seluruh keluarga besar Wae Rebo, Pak Martin da keluarga, Pak Marsel,  Ame Rafael, Ame Yosh, Ame Allex, Ine Veronika, Ine Oddie, Ine Gracia, Tedy dan anak-anak *tidak bisa disebutkan satu-satu* atas sambutan yang luar biasa, kalian akan selalu saya ingat.

2 komentar:

Petualangan Dari Sudut Pandang - Ika Soewadji -

  Tidak Menyangkal era perkembangan jaman saat ini, memudahkan aku sebagai pejalan untuk melakukan petualangan. Berpetualang bagi aku prib...